You are currently viewing BEM UMS Gelar Bedah Buku “Hijrah dari Radikal ke Moderat”, Soal Radikal Jadi Perdebatan Menarik

BEM UMS Gelar Bedah Buku “Hijrah dari Radikal ke Moderat”, Soal Radikal Jadi Perdebatan Menarik

  • Post author:
  • Post category:Berita

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggelar bedah buku tentang radikalisme, Selasa (18/2/2020). Bedah buku berjudul ‘Hijrah dari Radikal kepada Moderat’ tersebut diikuti kurang lebih 300 peserta dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, dosen, anggota ormas, TNI dan juga Polri.

Ketua Panitia, Abid Ismail menuturkan bahwa diskusi ini berangkat dari fenomena yang hadir saat ini, banyak masyarakat yang dibutakan dengan arti kata radikal, sehingga menutup pengetahuan. Melihat hal ini BEM UMS ingin membuka wawasan kepada masyarakat umum dan mahasiswa UMS khususnya untuk mengasah pisau analisis agar lebih tajam.

Bedah buku yang diselenggarakan di Auditorium Moh. Djazman ini, panitia mengundang lima pembicara, yakni dosen Fakultas Psikologi UMS, Aad Satria Permadi, S.Psi., M.A, ulama dari Dewan Syariah Kota Surakarta, Dr. Mu’inudinillah Basri, M.A, Direktur pascasarjana UIN Jakarta Prof. Dr. Jamhari Makruf, M.A serta pengamat pergerakan Islam, Dr. Amir Mahmud, M.Ag dan Haris Amir Falah selaku penulis buku Hijrah dari Radikal kepada Masyarakat.

Penulis buku, Haris Amir Falah menyampaikan pemikirannya terkait radikal dan moderat sebagaimana yang sudah ia tuliskan. “Faham radikalisme yaitu faham yang terlalu keras dalam memahami sebuah agama. Sehingga melahirkan intoleransi baik muslim dan non-muslim yang pada akhirnya berujung pada munculnya aksi terror.” paparnya.

Berbeda dengan Haris, Aad Satria Permadi memiliki pandangan yang berbeda terkait radikal. Ia tak setuju apabila radikal itu penyebabnya dari agama. “Dalam buku itu radikal dihubungkan dengan agama terutama agama Islam. Apakah betul radikal itu berasal dari agama? Benarkah agama jadi faktor utama yang berpengaruh?, saya pikir tidak,” kata Aad Satria.

Aad Satria menambahkan, padahal untuk menjadi radikal itu tidak perlu agamis terlebih dahulu. “Apabila hak-hak yang seharusnya kita dapatkan, namun kita tidak mendapatkannya itu bisa memicu radikal. Ketidakadilan pun juga bisa memicu terjadinya radikal, misalnya saja suporter sepak bola yang menganggap wasit tidak adil, maka bukan tidak mungkin akan terjadi radikal,” katanya.

“Bagi ilmuwan psikologi tidak seperti itu. Pemahaman mengenai radikal, kami menyebutnya atribusi sosial. Atribusi sosial adalah proses psikologis. Bagaimana individu mengevaluasi informasi untuk menentukan sebab sebuah kejadian. Itu adalah masalah cara berfikir seseorang. Sebenarnya penyebab radikalisme itu adalah ketidakadilan bukan agama. Semisal hak saya tidak terpenuhi padahal seharusnya saya mendapatkannya, ya tentu akan radikal,” imbuhnya.

Sejalan dengan itu, Dr. Mu’inudinillah Basri, M.A mengatakan, dirinya ini musuh teroris, juga musuh ekstrimis dan dirinya cinta NKRI. “Untuk memberantas ekstrimisime dan radikalisme maka stop penuduhan dan penudingan pembahasan isu radikalisme dan ekstrimisme. Teroris bukan dari islam dan ekstrimis bukan dari islam,” tegas Mu’inudinillah. (Bangkit/Humas).