You are currently viewing Kajian Rutin Kemuhammadiyahan UMS: Menginternalisasikan dan Mengaktualisasikan Nilai-nilai Muhammadiyah di Kalangan Dosen dan Karyawan

Kajian Rutin Kemuhammadiyahan UMS: Menginternalisasikan dan Mengaktualisasikan Nilai-nilai Muhammadiyah di Kalangan Dosen dan Karyawan

  • Post author:
  • Post category:Berita

Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) secara rutin mengadakan kajian rutin tentang kemuhammadiyahan yang diperuntukkan dosen dan karyawan, setiap bulannya. Untuk bulan November ini kajian rutin ini dilakukan pada Kamis (26/11/2020) melalui aplikasi zoom meeting.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. menjadi pembicara dalam kajian ini, dengan tema bahasan “Ideologi Muhammadiyah”. Sebelum kajian dimulai, Wakil Rektor Bidang AIK, SDM dan Aset Dr. Muhammad Musiyam, M.T. menyampaikan bahwa pengajian ini direncanakan akan ada 15 kali. Sesi pertama sudah dilakukan pada bulan Oktober, dibuka langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si.

“Bulan ini dan berikutnya kita akan mengkaji tentang ideologi Muhammadiyah. Bulan ini (November) diisi oleh Prof. Abdul Mu’ti, kemudian bulan depan insyaAllah oleh Prof. Syafiq Mughni,” ujarnya.

Tujuan dari kajian ini adalah untuk internalisasi nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada dosen dan karyawan. “Nilai-nilai tersebut bisa terinternalisasi sekaligus teraktualisasi dalam pekerjaan dosen dan karyawan” ujar Musiyam.

Abdul Mu’ti mengatakan berdasar dari Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid dan berdasarkan Al-Quran serta As-Sunnah.

“Persoalannya secara teks sudah hafal di luar kepala, namun secara pemahaman dan aktualisasi barangkali kita perlu menengok kembali dan mencoba melakukan pendalaman, sehingga kita dapat menerjemahkan dan kemudian mengaktualisasikannya sebagaimana mestinya,” jelas Sekum PP Muhammadiyah itu.

Kemudian, dalam konteks gerakan Islam ke-indonesiaan dan global, tentu saja bisa dilihat dan disaksikan betapa banyak organisasi-organisasi Islam lainnya. “Di Indonesia terdapat lebih dari 70 ormas Islam, itu yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kalau dihitung keseluruhan, baik yang tergabung MUI maupun tidak bergabung, saya yakin jumlahnya lebih banyak lagi. Apalagi dalam tingkat dunia. Di sinilah ada peran pembeda dari Muhammadiyah,” ungkap Abdul Mu’thi.

Muhammadiyah menjadi salah satu ormas Islam di tanah air. Muhammadiyah memiliki sisi perbedaan tersendiri dari lainnya. Baik dari sisi keorganisasian maupun dari sisi manhaj gerakan, dan dari sisi strategi dalam berdakwah.

“Satu hal yang penting dalam pemahaman kita, bahwa Muhammadiyah sebuah persyarikatan yang konstruksi teologisnya dibangun dari konsep ummat dalam Al-Qur’an,” katanya.

Ideologi Muhammadiyah bukan ideosincretic namun merupakan manhaj, sesuai dengan Al Maidah ayat 48. Manhaj ini merupakan kesepakatan kolektif atau konsensus atau ijma’ sebagai dasar bersyarikat. “Jadi dengan Manhaj ini, Muhammadiyah memiliki distinctive dengan ormas Islam lainnya dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadits. Muhammadiyah berbeda dalam hal amaliyah, muamalah dan sistem gerakan,” katanya.

Sebagai gerakan Islam berkemajuan, lanjut Abdul Mu’thi, Muhammadiyah mempunyai ciri organisasi yang berdasarkan tauhid murni, penafsiran komprehensif, amal sholih fungsional, fastabiqul khoirot dan taawun.

“Tauhid murni, mempunyai 5 aspek yakni (1) kesatuan ketuhanan (unity of God), (2) kesatuan penciptaan (unity of creation), (3) kesatuan kemanusiaan (unity of humanity), (4) kesatuan pedoman hidup (unity of guidance) dan (5) kesatuan tujuan hidup. Dalam memurnikan tauhid Muhammadiyah salah satunya tidak menganut kultus individu, baik karena keturunan atau jabatan atau hartanya. Namun bersifat egalitarian sesuai QS Al Hujurat ayat 13, Muhammadiyah menempatkan seseorang itu mulia karena ketaqwaannya, sehingga inilah yang menjadi dasar seseorang harus berprestasi sebagai kunci kemajuan,” tambahnya.

Lebih jauh Abdul Mu’thi menjelaskan, Muhammadiyah memahami Al Qur’an dan Al Hadits bukan berdasarkan tekstualis (apa adanya) atau juga bukan atomistik yakni ayat-ayat yang diisolasi dari ayat-ayat lainnya. Juga bukan liberatik yakni melepaskan ayat dari konteks, teks dan penalaran.

“Namun Muhammadiyah memahami secara komprehensif, baik secara konstekstual maupun penafsiran melalui metode Bayani, Burhani dan Irfani. Pemahaman komprehensif juga dilakukan dengan memahami lughoh (semantik), tafsir misalnya ayat dengan ayat lain sebelumnya atau sesudahnya dan kemudian kontekstual (asbabun nuzul dan asbabul wurud) serta dilengkapi dengan penjelasan ilmiah, sesuai kondisi dan kebutuhan untuk meningkatkan kebermanfaatannya.

“Misalnya konsep amal saleh diwujudkan juga dalam bentuk amal usaha yang dalam Muhammadiyah dipahami sebagai konkritisasi dan objektivisasi dari amal shaleh, tidak sekedar social charity namun juga bagian dari amal shaleh fungsional. Contoh lain misalnya konsep amar ma’ruf nahi munkar, di mana dalam Muhammadiyah konsep ini bukan menjadi doktrin alat kekuasaan yang bersifat represif seperti halnya doktrin era Mu’tazillah, yang bahkan ketika berganti era Mutawakkil, oleh Mu’tazillah doktrin amar ma’ruf nahi munkar tersebut digunakan sebagai doktrin gerakan oposisi. Namun Muhammadiyah menggunakannya sebagai gerakan ilmu untuk sebesar-besarnya peningkatan kemanfaatan bagi umat,” katanya.

Muhammadiyah menurut Mu’thi juga tidak berpolitik praktis, namun berkontribusi terhadap pengelolaan negara dalam bentuk: 1) opinion maker yakni inisiatif, partisipatif, dan korektif. Misalnya menulis kritis di koran. 2) political lobby yakni berkomunikasi dengan parpol dalam mengusulkan UU atau peraturan lainnya. 3) political pressure, diwujudkan misalnya dalam bentuk pendapat individu atau kelembagaan, pengajuan judicial review dan lain-lain. (Risqi/Humas)