Google Maps: Pisau Bermata Dua

Oleh Hamim Zaky Hadibasyir, M.GIS, selaku Dosen Fakultas Geografi UMS

BERNAVIGASI adalah hal yang sering dilakukan masyarakat. Baik masyarakat yang masih kuno, maupun yang sudah modern. Manusia memiliki kemampuan kognitif dalam mengingat atau menyimpan informasi, mengenai kondisi spasial atau keruangan dalam bentuk peta mental atau peta kognitif. Konstruksi peta mental tiap orang bervariasi. Dipengaruhi usia dan tempat yang dikenal.

Peta yang bersifat fisik seperti atlas dan peta cetak lainnya, dapat disentuh, dilihat, diperbanyak, dan mudah disebarluaskan. Lain halnya peta mental seseorang. Tidak bisa serta-merta dipindahkan ke orang lain secara instan. Juga tidak bisa diperbanyak, lalu dicetak dengan jumlah tertentu. Karena peta mental tersimpan di otak tiap manusia.

Ambil contoh Ahmad dan Aisyiyah orang asli Kota Solo. Ahmad menetap di Solo hingga usia 10 tahun. Sedangkan Aisyiah setelah lahir di Solo, kemudian tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat hingga usia 10 tahun. Saat Ahmad jalan-jalan di Solo, dia cenderung paham susunan ruangnya. Seperti jalanan dan bangunan terkenal, karena sudah familiar.

Sebaliknya, jika Aisyiyah jalan-jalan di Solo, dia akan kesulitan bernavigasi. Karena kurang familiar dengan kondisi jalanannya. Dari contoh tersebut, peta mental Ahmad lebih baik dibandingkan Aisyiyah. Sebaliknya, jika Ahmad diminta keliling di Kota Pontianak, dia akan kesulitan bernavigasi. Karena peta mental Ahmad di Pontianak kurang memadai. Disebabkan minimnya interaksi dengan kondisi keruangan kota tersebut.

Ketika teknologi belum semaju era industri 4.0, ketika seseorang ingin menuju suatu tempat dan belum mengetahui lokasinya, biasanya bertanya ke orang-orang yang ditemui di perjalanan. Dan orang yang ditanya, cenderung memberikan petunjuk mengenai informasi jalan dan landmark secara lisan atau tulisan (dalam bentuk denah).

Berbekal petunjuk tersebut, seseorang akan berusaha keras menggunakan kemampuan berpikir spasialnya, menuju tempat yang diinginkan. Secara tidak sadar, telah melalui serangkaian proses pembentukan peta mental dengan intensif.

Adapun di era industri 4.0, kita dimudahkan bernavigasi dengan peta digital. Seperti dikenal dengan Google Maps. Aplikasi ini diluncurkan Google pada 2005. Membantu seseorang yang ingin melakukan perjalanan menuju suatu tempat.

Bukan hanya mengetahui titik lokasi tujuan dengan tepat, namun juga kondisi lalu lintas pada rute yang akan dilewati. Secara real-timeGoogle Maps menyajikan informasi mengenai titik kemacetan, jalanan padat kendaraan, bahkan lokasi kecelakaan, perbaikan jalan, serta arah arus lalu lintas.

Google Maps juga memberi informasi wilayah yang sedang terdampak bencana. Seperti banjir dan peringatan tsunami. Selain itu, juga menawarkan beberapa jalur alternatif untuk sampai ke tujuan user.

Afiliasi Google Maps dengan WhatsApp (WA), kian memudahkan pengguna dengan fitur share location. Atau biasa disebut share location. Terdapat dua opsi share loc yang ditawarkan, yaitu share live location dan send your current location. Selain itu, ada fitur street view yang memudahkan user mengetahui penampakan jalan serta landmark.

Kendati demikian, tiada ciptaan manusia yang sempurna. Segala kenyamanan dan kemudahan dari Google Maps, membuat manusia malas berpikir spasial dan malas berusaha. Sehingga kemampuan spasialnya tidak berkembang.

Banyak generasi zaman ini kesulitan mengetahui orientasi arah, dan cenderung acuh pada kondisi spasial tempat tinggalnya. Padahal Google Maps yang dilengkapi global positioning system (GPS) serta kecepatan pergerakan di suatu tempat atau jalan, tidak menutup kemungkinan mengecoh user. Sehingga informasi real-time jadi tidak akurat lagi.

Google Maps yang menawarkan berbagai rute alternatif, hanya mempertimbangkan jarak, kecepatan kendaraan, serta kondisi padatnya lalu lintas. Tidak mempertimbangkan geometri dan kondisi permukaan jalan. Sehingga tidak sedikit user ‘terjebak’ di jalur yang salah karena mengikuti navigasi Google Maps.

User juga perlu memperhatikan kondisi device sebelum memakai Google Maps. Karena kondisi device juga mempengaruhi akurasi titik GPS. Jika device, fitur location, atau GPS pada perangkat tidak bekerja dengan baik, kemungkinan pengguna ‘nyasar’ lebiuh tinggi.

Alih-alih sampai di tujuan dengan kondisi baik, sesuai estimasi waktu dan rencana. Malah memperkeruh emosi dan memakan energi. Baik energi jiwa maupun energi kendaraan yang jauh lebih banyak dari yang seharusnya.

Google Maps telah mengubah cara seseorang dalam membangun khazanah keruangan atau spasial. Kehadiran teknologi geospasial yang memudahkan bernavigasi, sebaiknya digunakan secara bijak. Jika terlalu bergantung pada teknologi, saat mengalami gangguan ketika menggunakannya, maka akan menjadi bumerang. Maka ketika suatu teknologi semakin “cerdas”, seyogyanya manusia harus lebih “cerdas” dalam menyikapinya. (*)

Sumber :https://radarsolo.jawapos.com/opini/22/11/2022/google-maps-pisau-bermata-dua/