ums.ac.id, SOLO – Kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) periode ke dua memunculkan kekhawatiran akan terulangnya gejolak ekonomi seperti di periode pertama kepemimpinannya yang menerapkan kebijakan proteksionisme. Namun, Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, S.E., M.Si., menilai kebijakan tersebut justru akan lebih banyak merugikan untuk AS.
Dampak dari kebijakan tersebut yang sempat diterapkan di AS, menjadikan terjadinya perang dagang dengan China, kelesuan ekonomi global, dan mengganggu rantai pasok global.
Anton mengatakan, masalah di AS terkait dengan proteksionisme masih sama yaitu industri di AS juga terdampak dari performance manufaktur di China. Diprediksi, ini akan meminimalisir dampak kebijakan proteksionisme Trump.
“Tapi begini kondisi yang berbeda, jadi yang sekarang ini yang terjadi kan manufacturing China kan juga sedang melemah, artinya pasca Covid mereka belum lagi tumbuh seperti di era sebelum Covid,” jelas pengamat ekonomi dalam diskusi di Solo, Sabtu (9/11).
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMS itu mengungkapkan bahwa perang dagang yang mungkin terjadi tidak akan sekeras sebelumnya.
“Saya kira nanti meskipun ada semacam mekanisme ketakutan tentang perang dagang itu, tetapi menurut saya volumenya tidak akan sekeras di periode pertama Trump berkuasa, karena China sendiri tidak sekuat dulu,” tuturnya.
Masalah di Amerika masih sama, industri mereka masih belum seperti yang diharapkan yaitu masih menghadapi situasi defisit ganda baik dari neraca perdagangan maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kalau misalnya Trump ngotot melakukan proteksionisme, mungkin lebih berdampak ke Amerika daripada ke perekenomian global,” ujarnya.
Dia juga menekankan, bahwa perlu diingat AS adalah negara paling konsumtif di dunia, pemberlakuan tarif impor tinggi oleh Amerika justru bisa mengganggu perekonomian mereka sendiri karena artinya supply barang juga sedikit padahal mereka memerlukan barang tersebut.
“Ketika mereka melakukan aktivitas itu, biasanya akan dibalas oleh China. China akan membalas dengan menerapkan tarif juga untuk impor gandum. Sehingga petani Amerika pasti akan kesulitan menjual komoditas mereka,” jelasnya proyeksikan mekanisme perdangan gandum antara AS-China.
Jadi, lanjutnya, aksi berbalas itu lah yang nanti bisa berdampak pada perekonomian global, karena lalu lintas barang menjadi lebih susah yang kemudian berpengaruh pada supply chain (rantai pasok).
Anton tidak melihat adanya dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, menurutnya dampaknya kecil.
“Jujur saja ekspor ke luar negeri itu total sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) kita itu hanya 7%, jadi dampak ekspor kita ke dalam negeri itu tidak terlalu besar,” ungkapnya.
Dia menyebutkan bahwa produk Indonesia itu lebih banyak dijual di pasar domestik. Ketika disebutkan daya beli turun, adanya insentif industri akan memulihkan industri dalam negeri kemudian daya beli akan normal, dikarenakan orang tidak jadi kehilangan pekerjaan atau dapat pekerjaan lagi.
Dekan FEB UMS itu melontarkan apabila pasar eskpor kita di AS berkurang, menurutnya itu tidak bermasalah karena pasara domestik kita masih kuat.
Dia juga mengaitkan dengan langkah Indonesia yang saat ini sudah mulai menjajaki BRIC. BRIC adalah satu persekutuan dagang dengan pendirinya adalah Brazil, Rusia, India, dan China yang tidak memasukkan AS sebagai anggota.
Anton menyebut, AS saat ini mulai di isolir. Dia melihat bahwa perekonomian di BRIC lebih besar dibandingkan dengan AS. Selain itu, mekanisme perdagangan BRIC juga sudah tidak menggunakan dolar tetapi menggunakan mata uang masing-masing yang kemudian disepakati.
“Kalau Trump mau begitu ya silahkan, tapi saya yakin dampaknya justru lebih banyak merugikan perekonomian Amerika sendiri daripada di Indonesia atau di Asia,” tegasnya.
Dalam sesi wawancara tersebut, Anton menyampaikan Indonesia lebih baik berbenah untuk kebijakan-kebijakan kepada industri lokal. Menyoal perlindungan industri dalam negeri yang pengaruhnya dari Permendag No 8/2024 menurutnya itu dilematis.
“Kalau kita mencabut atau melarang Permendag itu, pengusaha Indonesia juga banyak yang kena dampak karena importirnya kan pengusaha Indonesia juga,” tuturnya.
Seperti penjual-penjual yang terdapat di TikTok dan Shopee, sehingga jika ditutup mereka pasti akan protes atas kebijakan tersebut.
Guru Besar UMS itu mengatakan, kebijakan yang sebenarnya perlu dilakukan adalah melindungi industri dalam negeri agar mekanisme pasar berjalan namun industrinya dibuat efisien. Selain itu, insentif ke industri manufaktur, tekstil, furniture, dan industri-industri lokal yang pasarnya juga lokal itu juga perlu dilindungi supaya mereka bisa bertahan terhadap impor.
“Kalau mau batasi impor itu ngga gampang. Dibatasi, nanti lewat mekanisme perdagangan gelap, diselundupkan kan bisa. Maka yang kemudian dibangun adalah industrinya, industri substitusi impor yang bisa memproduksi barang-barang yang sebelumnya diimpor itu yang dibangun,” sarannnya.
Langkah yang dapat diambil adalah seperti bantuan untuk tekstil yang saat ini sedang menghadapi permasalahan, pabrik manufaktur yang perlu dibantu segera dibantu, dan UMKM yang diberikan insentif.
“Jadi hal-hal seperti itu yang saya kira malah penting untuk dilakukan daripada tadi ngurusi kemenangannya Trump yang sebenarnya kalau menurut saya dampaknya ke Indonesia ngga begitu banyak,” pungkasnya. (Maysali/Humas)