You are currently viewing Program Doktor Ilmu Hukum UMS Gelar Stadium General Menelaah Kritis UU Cipta Kerja dan Peluang Uji Materi

Program Doktor Ilmu Hukum UMS Gelar Stadium General Menelaah Kritis UU Cipta Kerja dan Peluang Uji Materi

  • Post author:
  • Post category:Berita

Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bersama dengan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDM) Surakarta dan MACNUM menggelar diskusi kritis dan telaah uji materi tentang Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Diskusi dalam format studium generale tersebut dilangsungkan pada Sabtu (12/12/2020). Pada kesempatan ini menghadirkan sejumlah pemateri yakni Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah yaitu Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara UGM Yogyakarta Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M dan Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum. Guru besar Ilmu Hukum UMS.

Seperti diketahui Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sudah resmi disahkan pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di Senayan, beberapa waktu yang lalu. Meskipun sudah disahkan, namun ternyata UU yang tergabung dalam Omnibuslaw tersebut masih menarik untuk diperbincangkan, mengingat sebelum disahkan banyak menimbulkan pro dan kontra.

Pada kesempatan diskusi kali ini Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum mengawali dengan menyampaikan Indonesia menjadi negara paling “ruwet”. “Berdasarkan Global Benchmark complexity index tahun 2020 Indonesia menjadi negara paling “ruwet”. Diawali dari tahun 2013, Indonesia menduduki peringkat 5 negara paling ruwet. 2014 jadi negara nomor 9. Tahun 2015, mulai ruwet lagi berada diperingkat 2. Tahun 2016 kembali membaik menjadi peringkat 6, kemudian 2017 sangat bagus menajdi peringkat 37. Tahun 2018 semakin bagus menjadi nomor 46. Tapi itba-tiba kita terperosok ke-2 lagi. Dan ditahun 2020 Indonesia menjadi juara sebagai negara nomor 1 paling ruwet,” katanya.

Keruwetan tersebut karena tumpang tindihnya aturan perudang-undangan. Karena itulah sudah selayaknya jika pakar hukum perlu melakukan telaah terhadap upaya judicial review atas UU ini. “Ini tentu saya menjadi prihatin, apalagi setelah UU cipta kerja disahkan,”ujarnya yang mengawali paparan dari perspektif hukum politik.

UU Cipta kerja dengan pola omnibuslaw menurutnya tidak tergambarkan dalam penyusunan UU Cipta Kerja secara tepat. Dan tidak dikenal dalam UU Pembentukan Peraturan Peundang-undangan. “Kita tidak memiliki dasar yang kuat tentang bagaimana menyusun UU cipta kerja melalui pola omnibuslaw,” lanjutnya.

Ia menyebut, penyusunan RUU Ciptakerja penuh layaknya kisah dalam dengan “drakor” atau drama Korea. “Salah satu drakor itu ya RUU Cipta kerja ini. Karena masa pandemi covid-19, saat penyusunan RUU cipta kerja itu tidak ada pandangan-pandangan dari ormas, kok tiba-tiba di DPR merubah tujuan awal meningkatkan investasi , menjadi pemulihan ekonomi. Kemudian muncul permohonan presiden minta dukungan dari MK, dan meminta DPR selesaikan pembahasan dalam waktu 100 hari, sudah seperti cerita jaman dulu yaitu pembuatan Candi,” tegas Trisno.

Pembicara lain yaitu Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum yang melihat dari perspektif ketenaga kerjaan, memprediksi kerugian dari UU No 11 tahun 2020 tentang cipta kerja bagi pekerja. Diawali dari proses perjalanannya, dia melihat meski banyak munai protes yang ditujukan kepada DPR dan Presiden, namun seolah tidak diperhatikan bahkan cenderung nekad untuk mengebut penyelesaian RUU Omnibuslaw secara “Kejar Tayang”.

“Dari semua versi, intinya sama, UU Omnibuslaw Cipta Kerja dianggap berbahaya, karena UU Cipatker itu menggunakan pendekatan liberal kapitalistik dalam pengelolaan sumber daya alam dan manusia, sehingga tak sesuai dengan konstitusi dan pandangan pendiri bangsa,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu.

Sementara Prof. Dr. Absori, S.H., M.Hum, Guru Besar Ilmu Hukum UMS, menyampaikan dari perspektif hukum lingkungan, menyebut dalam UU Cipta kerja diatur beberapa ketentuan yang dianggap dapat memperlemah perlindungan dan penegakan hukum lingkungan.

“Ketentuan tersebut mengatur masalah dibidang hukum administrasi, yakni perizinan lingkungan, dibidang hukum perdata mengenai tanggungjawab mutlak dan bidang hukum pidana menyangkut sanksi pidana,” jelasnya.

Pakar hukum tata negara UGM Yogyakarta Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M secara sederhana memberikan 3 catatan untuk UU Cipta kerja yaitu UU Omnibuslaw pertama dari segi Paradigmatik, UU Omnibuslaw didalamnya terdapat unsur pembangunan, oligarki, autocratic legalism dan Pseudo Democracy.

Substansi dan Teknik penyusunan dan tindak lanjut, Zainal mengatakan UU nomor 12 tahun 2011 tidak mengadopsi omnibus. Banyaknya pasal-pasal salah ketik dan kurangnya peran publik untuk menyampaikan aspirasi. (Risqi/Humas)