SUKOHARJO, KOMPAS.com – Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) buka suara dengan respons Istana Negara yang menuding pernyataan sejumlah universitas merupakan strategi politik partisan.
Guru Besar Fakultas Studi Hukum UMS Prof Aidul Fitriciada Azhari menegaskan, pernyataan sikap akademisi terhadap pemerintahan Jokowi murni sebagai bentuk keprihatinan dan keresahan terhadap perkembangan demokrasi dan kenegaraan Indonesia.
Ketua Komisi Yudisial tahun 2016 ini menilai bahwa kehidupan demokrasi Indonesia semakin merosot.
“Ini tidak terkait dengan kepentingan elektoral tertentu. Seruan moral ini semata-mata kami tujukan untuk kehidupan demokrasi yang kami rasakan semakin merosot,” jelas Aidul ditemui seusai membacakan Maklumat Kebangsaan di Gedung Siti Walidah Kampus 2 UMS di Sukoharjo, Jawa Tengah pada Senin (5/2/2024).
Aidul menyatakan, gerakan akademisi ini tidak terkoneksi dengan koalisi masyarakat sipil tertentu. Tetapi, murni berangkat dari pertimbangan atau diskusi internal kampus oleh para guru besar.
“Saya mendengar dari beberapa kalangan ya sebut ada dari pihak Istana ini sabagai orkestrasi politik. Saya kira ini orkestrasi kewarasan, orkestrasi nurani, orkestrasi moral. Kenapa, karena saya melihat gerakan guru besar, gerakan akademisi ini tidak terkoneksi dengan misalnya koalisi masyarakat sipil tertentu. Jadi murni berangkat dari pertimbangan atau diskusi internal kampus, karena itu yang muncul guru besar,” kata dia.
“Biasanya sibuk riset, bimbingan. Tapi karena keadaan makin memburuk, saya kira panggilan moral lebih kuat untuk tampil menyerukan keprihatinan terhadap perkembangan demokrasi. Jadi kalau soal apakah itu diterima atau direspon dengan buruk, saya kira kembali kepada nurani ke pemerintah, pejabat Istana,” sambung dia.
Pernyataan sikap akademisi kampus ini untuk mengkritisi terkait nepotisme. Menurutnya, nepotisme merupakan satu hal yang diperjuangkan di awal reformasi.
Aidul pun menyebut keterlibatan UMS dalam memperjuangkan reformasi.
“Jadi kita sadar betul bahwa UMS sejak awal terlibat dalam menghapus nepotisme, kroniisme, dan tentunya korupsi (KKN). Kita melihat ini seperti dikembalikan lagi. Jadi pengkhianatan terhadap reformasi. Ini pengkhianatan terhadap perjuangan para mahasiswa dulu,” ungkap Aidul.
Lebih jauh Aidul menerangkan apa yang dilakukan akademisi kampus untuk mengembalikan cita-cita awal reformasi bahwa rakyat sabagai pemegang kedaulatan.
“Kami kembali menyerukan untuk mengembalikan ke jalan yang sebenarnya. Rakyat sabagai pemegang kedaulatan punya hak yang sama. Negara tidak lagi menjadi urusan keluarga, tapi negara menjadi urusan bersama. Ini yang kita serukan. Mengembalikan cita-cita awal reformasi, bersumber pada cita-cita republik, kembali ke kepentingan publik, bukan golongan,” terang Aidul.
Pernyataan Istana soal kritik akademisi
Sebelumnya, koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana menilai, kritik itu sebagai vitamin untuk melakukan perbaikan.
“Dalam negara demokrasi, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, seruan, petisi, maupun kritik harus dihormati. Kemarin, Bapak Presiden juga telah menegaskan freedom of speech adalah hak demokrasi,” ujar Ari, diberitakan Kompas.com (2/2/2024).
“Kritik adalah vitamin untuk terus melakukan perbaikan pada kualitas demokrasi di negara kita,” lanjutnya. Ari menambahkan, perbedaan pendapat, perspektif, dan pilihan politik merupakan hal sangat wajar dalam demokrasi, apalagi di tahun politik jelang Pemilu.
“Akhir-akhir ini, terlihat ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral. Strategi politik partisan seperti itu juga sah-sah saja dalam ruang kontestasi politik,” ujar dia.