Oleh: Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
SUARAKARYA.ID: Hajatan 5 tahunan pesta demokrasi memasuki hari tenang dan menunggu siswa waktu di hari pencoblosan pada 14 Pebruari 2024. Semua paslon pasti berharap cemas mampu memenangkan persaingan untuk merebut kemenangan dan pemenangan. Berbagai cara dan strategi dilakukan, termasuk kampanye akbar di sejumlah tempat.
Di satu sisi, pasti ada keyakinan untuk menang satu putaran dari ketiga paslon meski di sisi lain diyakini sangat sulit untuk bisa menang satu putaran dan akhirnya diprediksi terjadi dua putaran. Konsekuensi dari satu putaran dan dua putaran tentu tidak hanya berdampak terhadap anggaran yang harus dikeluarkan tetap juga kejenuhan publik ketika harus ke TPS lagi. Padahal, ancaman kejenuhan itu sendiri bisa berpengaruh terhadap ancaman golput dan pastinya ini sangat rentan terhadap kehidupan demokrasi.
Menjelang hari H pencoblosan tentu masih ada pemilih yang belum menentukan untuk bisa memilih siapa. Hal ini tidak bisa terlepas dari pemetaan para pemilih yaitu diantara mereka memang sudah ada yang sedari awal berniat memilih paslon tertentu tetapi pada sisi lain masih banyak juga yang belum menentukan pilihan sambil menunggu agenda debat untuk melihat kemampuan dan kapasitas dari ketiga paslon. Selain itu ada banyak temuan juga para calon pemilih yang masih resah, galau dan bimbang karena memang tidak mampu menentukan pilihan yang terbaik. Kelompok inilah yang menjadi target di balik kampanye terselubung sehingga diharapkan pada detik terakhir pelaksanaan dapat menentukan
pilihan yang terbaik.
Selain itu, ada juga tipe kelompok pemilih yang menunggu serangan fajar, meski fakta yang berkembang jumlah kelompok ini juga tidak terlalu banyak dan mayoritas terjadi di pinggiran, termasuk juga kelompok yang berpendidikan menengah ke bawah. Terkait ini maka ketiga paslon harus memutar otak untuk bisa mendulang suara secara konkret untuk bisa meraih kemenangan dan pemenangan dalam pesta demokrasi. Meski realitas yang berkembang juga muncul kekhawatiran di balik praktek culas dan curang selama pelaksanaan pesta demokrasi itu sendiri.
Kekhawatiran ini tentu bukan tidak beralasan karena indikasi ke arah tersebut terlihat sangat jelas. Hal ini yang kemudian berdampak terhadap munculnya sejumlah aksi petisi dari lingkungan kampus, akademisi dan Guru Besar di sejumlah kampus. Di satu sisi, realitas ini tentu harus diwaspadai meski di sisi lain dari istana menyebut bahwa aksi itu adalah bagian dari praktik partisan dari paslon tertentu sehingga memarginalkan paslon yang lain.
Fakta yang ada juga menegaskan bahwa keresahan kalangan akademisi dan mahasiswa itu sendiri tidak bisa terlepas dari praktek-praktek kotor yang diperlihatkan untuk dapat menguatkan dinasti. Padahal, pesta demokrasi adalah salah satu sistem untuk memberi keleluasaan dalam menciptakan suksesi kepemimpinan dengan baik dan benar, bukan justru menciptakan dan melanggengkan kepemimpinan melalui dinasti politik. Fakta ini menjadi pembenar dibalik tekanan kepada Presiden Jokowi untuk tidak cawe-cawe dari pelaksanaan pesta demokrasi, meski ada anaknya yang juga bertarung sebagai cawapres sehingga diharapkan pelaksanaan pesta demokrasi berjalan jujur dan adil.
Kekhawatiran dari praktek curang dibalik pelaksanaan pesta demokrasi pastinya dapat menciptakan konflik politik yang kemudian bisa merembet ke isu sosial – ekonomi dan akhirnya berdampak sistemik terhadap kepercayaan pasar. Sejatinya, pelaksanaan dari pesta demokrasi memicu perilaku wait and see pelaku ekonomi – bisnis dan investor di semua level.
Padahal situasinya akan berubah menjadi wait and worry jika kondisi yang terjadi cenderung semakin memanas. Oleh karena itu, sisa waktu menjelang hari H dari pelaksanaan pesta demokrasi diharapkan bisa terkendali sehingga kondusif. ***
Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi – Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sumber: https://www.suarakarya.id/opini/26011847780/pesta-demokrasi