Solopos.com, SOLO–Hasil Survei Pusat Studi Perubahan Sosial dan Budaya dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Umum (LBIPU)Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menunjukkan pembelajaran Pendidikan Pancasila itu membosankan, kurang kontekstual, dan kurang merambah aspek afektif-perilaku. Selain itu, mata kuliah itu selama ini disampaikan secara satu arah dari dosen ke mahasiswa.
Dosen UMS mewakili LBIPU, Mohammad Thoyibi, menyatakan LBIPU UMS dan PSPSB UMS bekerja sama mendesain pembelajaran Pendidikan agar relevan dengan perkembangan zaman, juga pas dengan karakter anak muda.
“Desain pembelajaran Pendidikan Pancasila itu kemudian diterapkan di sejumlah kampus di Indonesia melalui pelatihan,” ujar dia dalam pelatihan bagi dosen Pendidikan Pancasila di Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Kamis (25/4/2024), seperti dalam rilis yang diterima Solopos.com, Minggu (28/4/2024).
Metode pembelajaran reflektif-interaktif dan andragogi diterapkan dalam Pendidikan Pancasila. Yang disasar adalah dosen Pendidikan Pancasila maupun mahasiswa yang ikut mata kuliah tersebut.
Melalui pelatihan itu, dosen dan mahasiswa tidak mendiskusikan Pancasila sebagai dogma tetapi secara kritis, menghubungkan kasus-kasus aktual di masyarakat dengan nilai-nilai Pancasila.
“Metode pembelajaran yang cenderung tradisional satu-arah tidak memadai dalam memfasilitasi partisipasi aktif mahasiswa serta pengembangan ranah afektif dan konatif mereka,” jelas Thoyibi.
Direktur Eksekutif PSBPS UMS, Yayah Khisbiyah, menyatakan selama ini, Pancasila sebagai dasar negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional dihadapkan pada tantangan serius karena kurangnya upaya yang sungguh-sungguh dalam menyebarluaskan, menginternalisasikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Meskipun Pancasila diakui sebagai falsafah dan fondasi keindonesiaan, penerapannya belum menjadi kebiasaan yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap dan perilaku publik, serta kebijakan kelembagaan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila belum terintegrasi secara sistemik dalam struktur politik, hukum, dan ekonomi pemerintahan, dan secara kultural di lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan. Kondisi ini juga terjadi pada generasi muda yang sering disebut sebagi milenial, termasuk mahasiswa.
Akibatnya, jelas Yayah, sebagian mahasiswa mencari arah atau pandangan alternatif di luar kerangka Pancasila, percaya bahwa hal tersebut dapat mengembalikan integritas dan kedaulatan penyelenggara negara yang dianggap telah gagal menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia.
“Hal ini memberi celah bagi kelompok-kelompok ekstrem dan intoleran, serta ideologi takfiri, untuk dengan mudah mempengaruhi dunia pendidikan dengan menyebarkan doktrin ideologi alternatif yang dianggap sebagai solusi atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa dan negara,” ujar Yayah.
Yayah mengatakan perubahan desain Pendidikan Pancasila itu merupakan upaya menguatkan kembali ideologi Pancasila dalam kesadaran berbangsa dan bernegara, melalui jalan kultural dan pedagogis.
Pendalaman konsep Pancasila di kalangan mahasiswa dilakukan dalam tiga dimensi, yaitu pengetahuan, keyakinan dan penghayatan, serta praktik hidup. Ketiga dimensi ini dituangkan dalam program dengan tajuk Revitalisasi, Institusionalisasi, dan Standardisasi Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi Indonesia (RISP3TI).
Menurut Yayah, program ini telah dilakukan PSBPS UMS dan LBIPU UMS sejak 2019 dengan dukungan Harmoni-USAID. Mereka juga bekerja sama dengan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah dan Belmawa Kemendikbudristek Dikti untuk review modul ajar Pancasila Sebagai Laku, desain Learning Management System, advokasi kebijakan, pelatihan para dosen dan mahasiswa penggerak, serta praktik belajar-mengajar di kelas.
Tahun 2024 ini, PSBPS UMS memperluas jangkauan geografis Pelatihan Nasional RISP3TI, dari target awal 24 mitra perguruan tinggi swasta dan negeri di Jawa pada 2023, menjadi 50 universitas dari berbagai penjuru Indonesia.
Penyelenggaraan pelatihan ini dilakukan di 6 hub wilayah: DKI Jakarta dan sekitarnya, Kalimantan, Sumatra, Jawa Timur dan Indonesia Timur, Jawa Tengah, dan Papua.
Pelatihan pertama diadakan pada 23-25 April 2024 untuk daerah hub Jawa Barat dan Jakarta di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Yayah menyatakan revitalisasi dan institusionalisasi Pendidikan Pancasila di lingkungan universitas sebagai strategi transformasi sosial berjangka Panjang dan berkesinambungan.
PSBPS UMS beserta mitra-mitra kolaborasi berusaha memastikan bahwa materi pembelajaran Pendidikan Pancasila yang disampaikan dalam program ini relevan dengan perkembangan sosial-politik mutakhir, berpendekatan inklusif, dan inovatif.
Di tengah kemunduran demokrasi, menurunnya keteladanan kepemimpinan nasional, dan berbagai pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila, program ini diharapkan membentuk pola pikir kritis-konstruktif mahasiswa, agar memahami, meyakini, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila yang oleh persyarikatan Muhammadiyah dijunjung sebagai darul ahdi wal syahadah.
Tujuan akhir dari program ini adalah perubahan sosial positif dalam memperbaiki tata kelola negara dan mendorong pembangunan bangsa yang damai-inklusif, berkeadilan dan berkeadaban.
Rektor UMJ Ma’mun Murod, menyoroti pentingnya memahami Pancasila sebagai falsafah tengahan yang bersifat wasathiyah, bukan ekstrem.
Pancasila adalah hasil dialektika antara berbagai perspektif tentang dasar negara, menciptakan sintesis yang sejalan dengan nilai-nilai fundamental dalam Islam.
Lebih lanjut, Murod merekomendasikan Pancasila sebagai alat kritik terhadap berbagai penyimpangan dan pelanggaran demokrasi yang terjadi saat ini.
Ia menggarisbawahi bahwa pemahaman yang mendalam tentang Pancasila sebagai falsafah tengahan dapat membantu mencegah polarisasi dan ekstremisme di masyarakat.
Dengan memahami bahwa Pancasila adalah sintesis yang memperhitungkan berbagai perspektif dan nilai, diharapkan generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik.