Wabah Covid-19 yang belum juga usai tak menyurutkan Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dalam menyelenggarakan aktifitas kampus. Salah satunya kegiatan dalam menyemarakkan datangnya Bulan Ramadhan.
Panitia Gema Kampus Ramadhan tetap melaksanakan sejumlah kegiatan yang selama ini rutin digelar saat Ramadhan tiba, seperti kajian dan tabligh akbar. Hanya saja kali ini digelar secara daring atau online dengan tetap menghadirkan para pemateri berpengaruh.
Seperti Tabligh Akbar Online yang digelar panitia pada Senin, 18 Mei 2020 yang menghadirkan pemateri Prof Dr KH Din Syamsudin (mantan Ketua PP Muhammadiyah 2005-2015). Sebelumnya, tabligh akbar online ini juga dilakukan pada Senin, 11 Mei 2020 dengan menghadirkan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si.
Tabligh Akbar yang digelar UMS ini menggunakan aplikasi pertemuan daring, Zoom. Selain itu, acara ini juga bisa disaksikan lewat platform YouTube di saluran TV UMS maupun instagram UMS, @umsofficialid.
Antusiasme peserta atau jamaah yang mengikuti Tabligh Akbar secara virtual ini cukup tinggi. Terbukti setiap sesi Tabligh Akbar jumlah jamaah yang bergabung minimal 350 orang yang masuk lewat Zoom. Malahan, pada saat materi KH. Din Syamsuddin, jumlah peserta aktif dalam zoom tercatat sampai 469 orang. Kemudian, jamaah yang menyaksikan lewat You Tube dari paparan Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu lebih dari 300 orang.
Haedar Nashir dalam Tabligh Akbar Online UMS itu menyampaikan tema tentang Peran Muhammadiyah UntukBangsa. Jamaah dari berbagai daerah tampak anstusias mengikuti kajian ini baik bergabung dalam Zoom maupun mereka yang menyaksikan di YouTube TV UMS.
Sementara itu, dalam materinya, Din menyampaikan tentang peta kekuatan dakwah di Indonesia. Menurutnya peta dakwah di masa kontemporer seperti ini harus mengakui bahwa Islam di Indonesia modern itu sebenarnya merupakan bawaan warisan, residu, sisa dari Islamisasi yang terjadi di masa lampau khususnya di Pulau Jawa.
Islam di Indonesia, lanjut Din Syamsudin, merupakan sebuah proses yang belum selesai di era wali Songo. Akan tetapi, Islam berkembang begitu cepat. Hal ini ditandai dengan munculnya kerajaan Islam di Indonesia. Salah satu faktor berkembangnya Islam yang begitu cepat terutama di Jawa ialah karena Islam dari Gujarat itu menekankan harmoni begitu juga dengan masyarakat Jawa yang menekankan hal serupa, sehingga terjadilah akulturasi antara keduanya.
“Tidak sampai di situ saja, Islam di Indonesia ini mengalami yang namanya politik identitas di mana masjid hanya diisi oleh kalangan santri tulen saja sementara santri abangan tidak,” kata Din.
“Saat ini umat Islam sedang mengalami keterpurukan, ketertekanan, ketertuduhan. Sehingga umat Islam terlihat kurang kompak. Akan tetapi di tengah wabah Covid 19 ini di luar negeri itu sempat terjadi pada orang-orang non muslim yang terbesit di pikiran mereka bahwa Tuhan mereka katanya tidak bisa menolong hambanya. Sebenarnya ini adalah momentum umat Islam untuk bangkit dan kompak lagi,” pungkasnya. (Bangkit N/Humas)