MUHAMMADIYAH DAN HALALPRENEUR

Oleh: Imron Rosyadi*)

Generasi awal persyarikatan berhasil membesarkan Muhammadiyah melalui tangan-tangan trampil wirausahawan. Atau dengan kalimat lain, Muhammadiyah lahir dan dibesarkan bukan dari kalangan pegawai/birokrat, melainkan dari kaum saudagar.

Sehingga di masa pergerakan nasional, Muhammadiyah sangat disegani kawan maupun lawan. Sebab, para pengurusnya mampu mengokohkan jatidiri Muhammadiyah sebagai ormas yang mandiri dan independen.

Pertanyaannya, akankah generasi Muhammadiyah di era sekarang berhutang budi pada generasi awal, sehingga berkomitmen untuk melahirkan, dan mengokohkan kader-kader Muhammadiyah dari segmen saudagar (halalpreneur)?

Pilar Ketiga

Tampaknya pertanyaan tersebut terjawab pada Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Jogjakarta, yang mencanangkan bidang ekonomi sebagai pilar ketiga gerakan dakwah. Pilar ketiga digulirkan untuk mendukung kemandirian Muhammadiyah dalam menjalankan pilar pertama (kesehatan) dan pilar kedua (pendidikan).

Pilar ketiga (ekonomi/kewirausahaan) diteguhkan kembali pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar. Nah, sebagai upaya menjalankan amanah muktamar, maka dibentuklah Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) yang peran dan tugasnya di bawah koordinasi Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK).

Pembentukan JSM dinilai sangat strategis bagi perkembangan dinamika gerakan dakwah, sekaligus mengokohkan kemandirian Muhammadiyah setelah melintasi usia satu abad.

Kemandirian tersebut bisa saja dimaknai, sebagai kemandirian ekonomi/keuangan. Hal ini berarti, dalam menjalankan semua instrumen gerakan dakwah, Muhammadiyah tidak bergantung pada “pendanaan” pihak lain. Melainkan bertumpu pada kekuatan ekonomi persyarikatan dan warganya.

Oleh karenanya, diperlukan langkah-langkah strategis dalam kerangka penguatan ekonomi persyarikatan, pengurus dan warga persyarikatan. Serta umat Islam pada umumnya.

Salah satu strategi utama yang bisa lakukan adalah mengokohkan ekosistem usaha dan/ atau Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang digarap saudagar/pengurus Muhammadiyah di seluruh nusantara. Hal ini mengingat “dana segar” yang dimiliki AUM, dan tersimpan di bank-bank nasional mencapai sekitar Rp 15 triliun, Serta memiliki aset tetap kurang lebih mencapai Rp 320 triliun.

Halalpreneur

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, saudagar diartikan orang yang memperdagangkan sesuatu dalam jumlah besar, atau pedagang besar. Pada masa pergerakan kemerdekaan, diksi saudagar merujuk pada sosok pedagang batik yang muslim. Sehingga jika ditarik dalam konteks kekinian, sinonim saudagar adalah halalpreneur. Lantaran keduanya memiliki karakteristik yang sama.

Disebut halalpreneur setidaknya memiliki 3 karakter. Pertama, wirausahawan yang beriman kepada Allah, dan dibenarkan dalam usaha/bisnis yang dijalankan. Kedua, bisnis/usaha yang dijalankan diatur, dan dipandu syariat, dan merujuk yurisprudensi Islam yang bersumber dari Al-Quran- Hadits.

Ketiga, wirausahawan yang berprinsip bahwa halal-haram merupakan masalah krusial dalam Islam. Serta berpandangan, mengonsumsi produk yang halalan tayyiban merupakan perintah agama.

Sebagai gerakan dakwah dan tajdid, Muhammadiyah sangat berkompeten mencetak generasi muslim mileneal dan generasi Z yang berkarakter halalpreneur, sekaligus membentuk jejaring halalpreneur, dalam rangka mendukung Holding Company Muhammadiyah. Serta dukungan strategis terhadap penguatan ekosistem industri halal di tanah air.

Menurut hemat penulis, ada sejumlah langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengokohkan jejaring halalpreneur Muhammadiyah. Pertama, mencetak generasi halalpreneur. Kerjasama antar-PTM besar dan JSM untuk mendesain kurikulum di semua Fakultas yang memungkinkan lahirnya banyak halalpreneur baru dari PTM.

Kedua, mengintegrasikan semua lini AUM yang bergerak di bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, retail, konstruksi dan manufaktur dalam satu ekosistem amal usaha. Sehingga rantai nilai pasokan terbentuk sistemik dari hulu ke hilir. Misalnya, kebutuhan pangan (beras/sayuran/buah) di lingkungan AUM bisa dipenuhi Jamaah Tani Muhammadiyah (Jatam).

Selain itu, kebutuhan obat RS-PKU bisa dipasok dari manufaktur obat herbal Muhammadiyah; permintaan alat tulis kantor (ATK) PTM dapat dicukupi manufaktur ATK yang digarap UMKM; kebutuhan pembangunan infrastruktur sekolah, kantor dan kampus bisa ditangani perusahan kontruksi milik AUM dan lainnya. Sehingga diharapkan kekayaan Muhamadiyah berputar secara inner, dari umat kembali kepada umat.

Ketiga, pemberdayaan usaha mikro dan kecil milik warga Muhammadiyah (dan kaum muslimin). Terutama pendampingan dalam akses kredit bebas bunga, pemasaran digital, dan transaksi pembayaran digital.

Hal itu sebangun dengan pilar pertama blueprint kerangka strategis pengembangan ekonomi syariah yang diinisiasi Bank Indonesia (BI), yakni pengembangan usaha syariah melalui penguatan kemitraan seluruh kelompok pelaku usaha, dari UMKM syariah termasuk unit usaha pesantren sampai usaha besar, dalam ekosistem halal value chain (HVC).

Dengan demikian, jelang Muktamar, langkah Muhammadiyah semakin mantap “meneguhkan gerakan keagamaan”, sebagaimana tema yang diusung pada Muktamar Muhammadiyah Ke-48 “Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta”. Sehingga diharapkan, tema itu menemukan kohesinya dalam konteks Indonesia yang sedang dililit masalah, inflasi, pengangguran dan kemiskinan pasca-krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Semoga! (*)

*) Lektor Kepala Pada FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sumber : https://radarsolo.jawapos.com/opini/28/09/2022/muhammadiyah-dan-halalpreneur/