ums.ac.id, PABELAN – Magister Pendidikan Agama Islam (MPAI) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengelar Seminar Interdisiplinary dengan menghadirkan Prof., Dr., Abdul Mu’ti, M.Ed., dengan mengangkat tema “Pendidikan Islam Multikultural” yang dilaksanakan, Kamis, (31/8) melalui Zoom Meeting dan secara luring di Ruang Seminar Pascasarjana Lantai 5, Kampus 2, UMS.
Sekertaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu mengungkapkan Pendidikan Islam Multikultural yang di dalamnya tidak hanya menjelaskan Islam dari satu sudut pandang saja.
“Sudut pandang itu baik dari internal agama Islam, maupun eksternal diluar agama Islam. Jangan hanya melihat dari apa yang terlihat, tetapi kita perlu tahu latar belakangnya,” paparnya.
Menurutnya, perlu untuk membangun sikap multikultural dengan mengetahui sebab dari perbedaan pandangan itu, dan menjelaskan realitas dan membimbing untuk menyikapinya.
“Pada kondisi masa kini terjadi polarisasi, ketika perbedaan budaya ini berbenturan tanpa batas, yang disebut sebagai konvergensi sehingga terjadi proses asimilasi secara alamiah. Budaya akan bisa melintas batas dengan sangat mudah. Tetapi dalam konteks agama, hal itu belum terjadi dan Islam mengajarkan, ketika kita Islam ya harus menjadi umat Islam yang serius,” tegas Mu’ti.
Dalam pluraslisme, hampir semua menempuh berbagai cara menuju spiritualitas. Menurut konsep pluralism positif, tidak berarti mencampur adukkan agama. Harusnya menjadi seorang muslim itu menjadi muslim yang taat, menjalankan agama Islam dengan kaffah, dan menerima orang yang berbeda perbedaan pandangan.
“Kita tidak boleh memaksakan orang lain untuk masuk agama Islam, karena setiap orang memiliki Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memilih agama, dan ini adalah hak dasar. Seperti dalam Qs. Yunus ayat 99, kita umat Islam tidak bisa, tidak boleh dan tidak mungkin mengIslamkan semua orang,” ungkap Sekertaris PP Muhammadiyah itu.
Kemudian apa yang bisa dilakukan, ketika seseorang memilih bukan Islam itu menjadi pilihannya. Terdapat ruang pribadi dari semua hal. “Washatiyah Islamiyah dengan menempatkan agama menjadi pilihan pribadi, tetapi dalam konteks amalan ini tidak murni pribadi dan perlu ruang untuk dapat melakukan amal,” ujarnya.
Berbeda keyakinan, tambahnya, perlu menghormati orang yang berbeda keyakinan, umat Islam tidak perlu diperdebatkan ucapan natal boleh atau tidak boleh, sholat dilapangan boleh maupun tidak boleh. Dengan kondisi demikian perlu ada sikap, sikap menerima perbedaan dalam mengamalkan agama itulah yang disebut pluralis.
“Maka agama itu adalah pilihan dan harus dihormati. Nabi Muhammad SAW saja tidak memakasanakan agama Islam. “Abu Tholib bukan Islam, namun sangat mendukung dakwah Nabi. Hal itu tentu sangat menarik, dia tidak Islam tapi sangat membela Nabi Muhammad dalam mendakwahkan Islam,” tambahnya.
Sehingga, Pendidikan Islam Multikultural harus bisa memberikan kenyamanan kepada siapapun, tidak memaksakan dan memberikan hak yang seharusnya di dapatkan. Konsep yang dibawa adalah pendidikan yang mengakomodasi, sehingga muncul penerimaan dan kenyamanan dalam berkehidupan.
“Pendidikan diharapkan mampu memberikan perspektif, bahwa mempelajari agama itu tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Dalam Muhammadiyah, menetapkan melalui putusan tarjih itu melalui pengkajian, kemudian dipilih yang paling sesuai,” pungkas Mu’ti.
Setelah penyampaian materi, acara tersebut dilanjutkan penandatanganan MoU kerjasama program Magister dan Doktor PAI UMS dengan program Magister dan Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Fika/Humas)