SOLO, suaramerdeka-solo com – Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Nisa Rachmah Nur Anganthi MSi menjadi presenter dalam acara Quacquarelli Symonds (QS) Higher Ed Summit Asia Pasifik, 5-7 November 2024, di Macau University of Science and Technology (MUST), Macau SAR, China.
Dalam presentasinya, Nisa Rachmah Nur Anganthi membahas topik “Global Engagement in Research and Community Service: Pathway to Equity and Quality Outcome”.
“Kolaborasi merupakan proses melibatkan banyak orang, kelompok dan organisasi untuk mencapai hasil yang diinginkan. Menurut berbagai riset, setiap negara butuh negara lain. Kolaborasi penelitian internasional ini semakin penting bagi pengembangan pengetahuan dan teknologi di Indonesia,” paparnya dalam rilis yang diterima suaramerdeka-solo.com, Rabu (6/11/2024).
Dia menambahkan, pengabdian kepada masyarakat juga merupakan bentuk keterlibatan global yang dilakukan dosen melalui konseling interaktif dan diskusi kelompok terfokus.
Dosen Psikologi UMS itu menekankan bahwa permasalahannya adalah ketimpangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metode dan sumber daya untuk melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
“Berbagai tantangan yang teridentifikasi meliputi nuansa budaya, standardisasi akademis, kompleksitas logistik dan kendala keuangan,” tambahnya.
Dengan demikian, lanjut dia, penting untuk meningkatkan kesadaran akan kesetaraan dan kemitraan di antara anggota, serta mengingatkan orang-orang bahwa masih ada kesenjangan dalam kolaborasi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
“Solusi dari persoalan ini adalah kerja sama berdasarkan kebutuhan, kesetaraan, dan skala prioritas melalui program benchmark dengan negara-negara lain,” tegasnya.
Nisa Rachmah memaparkan ilustrasi lima tahapan kerja sama global untuk mengatasi permasalahan bersama.
Pertama, terjalinnya kerja sama, kedua, identifikasi kebutuhan dan faktor terkait, ketiga, kunjungan antarnegara, keempat yakni implementasi dan adaptasi program dan kelima adalah presentasi program dan evaluasi temuan.
Kerja sama, menurut dia, harus didasarkan pada kebutuhan, kesetaraan dan skala prioritas melalui program benchmark dan sit-in di negara-negara anggota.
“Guna memanfaatkan potensi kolaborasi yang besar, universitas harus memprioritaskan inisiatif kesadaran budaya, membangun kerangka kerja adaptif untuk jaminan kualitas akademis, memanfaatkan teknologi untuk manajemen proyek yang efisien, dan mengeksplorasi model pendanaan yang inovatif,” paparnya.**