ANCAMAN INFLASI DAN KEMISKINAN DI SOLO RAYA

Oleh Prof. Anton A. Setyawan (Guru Besar Ilmu Manajemen FEB UMS)

BADAN Pusat Statistik (BPS) merilis profil kemiskinan di Indonesia per September 2022. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah tercatat sebagai yang termiskin pertama dan kedua di pulau Jawa. DIY mempunyai persentase penduduk miskin, yaitu 11,49 persen atau 463.630 jiwa. Disusul Jawa Tengah dengan 10,98 persen atau 3.858.230 jiwa. Peningkatan persentase jumlah penduduk miskin ini, memicu keprihatinan dan perlu segera dicari solusinya.

Eks Karesidenan Surakarta terdiri dari enam kabupaten/kota. Merupakan salah satu motor penggerak perekonomian di Jateng. Namun pada akhir 2022, kawasan ini mengalami lonjakan inflasi tahunan cukup tinggi. Bahkan termasuk termasuk tertinggi di Jateng, yaitu 7,53 persen.

Penyumbang inflasi di Kota Solo, adalah kenaikan harga di sector transportasi dan beberapa komoditas makanan. Kantor Bank Indonesia Kota Surakarta dalam rilisnya pada November 2022, menyebut penyebab inflasi karena tingginya permintaan terhadap komoditas makanan. Setelah banyaknya event yang digelar.

Persentase jumlah penduduk miskin di eks Karesidenan Surakarta di 2022, sejatinya menurun dibanding 2021. Namun, beberapa kabupaten persentase jumlah penduduk miskinnya lebih besar dibandingkan Jateng. Kabupaten Boyolali (9,82 persen), Klaten (12,33 persen), Sukoharjo (7,61 persen), Wonogiri (10,99 persen), Karanganyar (9,85 persen, dan Sragen (12,94 persen).

Dari data tersebut, ada tiga kabupaten yang persentase jumlah penduduk miskinnya lebih tinggi. Di sisi lain, Kota Surakarta persentasenya 8,84 persen. Lebih tinggi disbanding enam kota besar lainnya di Jateng. Sebut saja Kota Magelang (7,10 persen), Salatiga (4,73 persen), Semarang (4,25 persen), Pekalongan (7 persen), dan Tegal (7,91 persen).

Maka prospek ekonomi eks Karesidenan Surakarta terancam dua masalah serius, yaitu inflasi dan kemiskinan. Kebijakan dan koordinasi inflasi yang mengancam perekonomian adalah gejala global. Seperti dikemukakan lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Organizations for Economic Co-operation and Development (OECD).

Dalam laporan outlook perekonomian 2023, inflasi yang disebabkan kenaikan harga pangan dan energi masih menjadi ancaman perekonomian global. Kondisi resesi di Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi di Eropa, disebabkan inflasi bahan pangan dan energy. Terimbas konflik Rusia dan Ukraina.

Kondisi ini diperparah penurunan indeks manufaktur Tiongkok. Karena adanya penurunan permintaan global. Kondisi perekonomian global di atas, berdampak pada perekonomian nasional. Tahun ini diperkirakan perekonomian Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan.

Diperkirakan hanya mengalami pertumbuhan ekonomi antara 4,7-4,8 persen. Turun dibandingkan perkiraan sebelumnya, yaitu 5,1 persen (World Economic Otlook, 2023, IMF).

Kondisi perekonomian di level local, yaitu eks Karesidenan Surakarta sangat terdampak resesi ekonomi global dan perlambatan ekonomi nasional. Tahun ini diperkirakan mengalami perlambatan ekonomi, dengan perkiraan pertumbuhan sama dengan nasional di kisaran 4,8-4,9 persen.

Tingginya inflasi di Kota Solo, merupakan gejala terganggunya rantai pasok. Beberapa komoditas yang seringkali mengalami fluktuasi harga, antara lain bawang putih, bawang merah, cabe rawit, telur ayam, daging ayam, dan daging sapi. Saat ada kenaikan harga, maka kontribusinya cukup besar terhadap kenaikan angka inflasi.

Kota Solo pada dasarnya adalah hub atau titik yang menghubungkan semua jaringan distribusi komoditas pangan di eks Karesidenan Surakarta maupun Jateng.

Menurut Wahyudin et al., (2017), dalam penelitiannya tentang manajemen rantai pasok bawang putih

dan bawang merah di Pasar Legi, Pasar Kleco, dan Pasar Nusukan, memegang peran kunci penentuan jumlah dan tujuan distribusi. Mengalami kenaikan harga pada medio 2015 dan 2017.

Kajian oleh Susila et al., (2020) tentang stabilisasi harga daging sapi, menunjukkan Kota Solo juga menjadi titik distribusi utama dengan pemasok dari Sukoharjo, Sragen, dan Boyolali. Ini bukti Kota Solo bukan produsen komoditas pangan. Namun justru pembentukan harganya di kota ini.

Ini menunjukkan, gangguan rantai pasok bisa terjadi pada titik-titik distribusi di Kota Solo. Fluktuasi harga komoditas pangan, setiap tahun menunjukkan bahwa masalah ini belum teruraikan.

Dampak langsung dari inflasi adalah peningkatan jumlah warga miskin. Kenaikan harga, terutama komoditas pangan, menyebabkan penghasilan riil masyarakat menurun. Hal pertama yang terjadi adalah penurunan konsumsi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Inflasi yang mencapai 7,53 persen, menunjukkan adanya kenaikan biaya hidup di kawasan ini. Sehingga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Maka Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) harus melakukan tindakan nyata. Melalui perbaikan mekanisme dan tata kelola distribusi komoditas pangan.

Langkah pertama adalah mengidentifikasi titik-titik pembentukan harga. Memastikan harga yang terbentuk berasal dari mekanisme pasar. Bukan karena usaha oligopolies, untuk mengambil keuntungan pada saat rantasi pasok tidak normal.

Pemerintah daerah di eks Karesidenan Surakarta perlu berkoordinasi, dalam rangka memperbaiki dan mengoptimalkan rantai pasok komoditas pangan. Ini bukan pekerjaan mudah. Karena stabilisasi harga komoditas pangan memerlukan lembaga yang punya control, serta anggaran kuat untuk mempertahankan harga. Lembaga semacam ini pernah diinisiasi Bank Indonesia, melalui Resi Gudang di beberapa titik produsen komoditas pangan. (*)

Sumber : https://radarsolo.jawapos.com/opini/14/02/2023/ancaman-inflasi-dan-kemiskinan-di-solo-raya/