You are currently viewing Belajar Bijak Dari Pilpres

Belajar Bijak Dari Pilpres

Dr. Edy Purwo Saputro, S.E., M.Si, dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta (DOK.PRIBADI)

Oleh Dr. Edy Purwo Saputro, S.E., M.Si., selaku Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

PEMILIHAN presiden (pilpres) telah berlangsung pada Rabu (14/2). Diiringi sejumlah dugaan kecurangan yang muncul ke permukaan, sehingga viral di media sosial (medsos). Realita ini memicu kontroversi, seperti muasal dari awal munculnya pasangan calon (paslon) tertentu. Maka dari itu diusulkan agar tayangan quick count di TV dihapuskan, dan selayaknya diganti dengan real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di sisi lain, KPU mengakui terjadi kesalahan dalam rekap versi aplikasi Sirekap. Terutama antara data yang diunggah dengan data riil dari hasil formulir C1. Pastinya perbedaan data yang cukup besar memicu kontroversi di masyarakat. Terutama setelah paslon tertentu jumawa menyampaikan pidato kemenangan di publik.

Sejatinya, deklarasi kemenangan sesaat pernah terjadi pada pilpres 2019 dan 2014. Meskipun akhirnya harus berbalik arah, karena hasil hitung real count dari KPU justru menunjukan yang berbeda.

Belajar bijak dari kepongahan hasil quick count 2019 dan 2014, maka bisa jadi kesalahan serupa akan terulang kembali di pesta demokrasi tahun ini. Jika nanti terbukti, maka benar adanya bahwa lembaga survei tergantung siapa pembayar. Ini jelas sangat mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga survei.

Bahkan ada istilah maju tak gentar membela yang bayar, menjadi preseden buruk terhadap kualitas di dunia statistik. Terutama berkaitan dengan hasil survei. Maka dari itu, beralasan jika dari kedua paslon yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD berusaha konsisten menenangkan publik serta simpatisannya. Sambil menunggu hasil hitung real count dari KPU.

Selain itu, kedua paslon ini juga terus berusaha membuka tabir kecurangan yang terjadi di sejumlah wilayah, agar hasil pilpres benar-benar sesuai kenyataan. Terlepas dari kepongahan dan keberagaman kecurangan yang terjadi, pastinya prediksi dari sejumlah pengamat terkait buruknya pelaksanaan pesta demokrasi tahun ini semakin terbukti.

Setidaknya, hal ini justru dimulai dari lahirnya paslon yang membawa petaka di Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai lahirnya putusan Majelis Kehormatan Mahmakah Konstitusi (MKMK). Ironisnya, putusan sela justru sukses membawa kembali sang paman menjadi ketua MK.

Ada apa sebenarnya dengan republik ini? Padahal, kasus serupa menyebut ketua KPU melanggar etik berat dari hasil putusan DKPP. Meski akhirnya hajatan 5 tahunan pesta demokrasi tetap sukses berjalan, seolah tanpa rintangan. Ironisnya, hasil hitung quick count juga memberi sinyalemen kontroversi. Artinya, seolah tidak henti bahwa pesta demokrasi 2024 ini nyaris semuanya berjalan penuh kontroversi.

Jika demikian, maka bukan tidak mungkin nantinya penetapan putusan hasilnya juga akan menuai banyak hujatan dan gugatan. Padahal, implikasinya jelas akan berdampak sistemik terhadap legitimasi hasil pemilu. Oleh karena ini, selebrasi sesaat dari hasil quick count harus diwaspadai dengan bijak.

Jika benar adanya hasil quick count, maka hampir semua wilayah di Indonesia sudah berubah dikuasai oleh “biru”. Bahkan, beberapa wilayah yang sebelumnya dikuasai “merah”, juga bisa dikalahkan. Sehingga ini menjadi catatan menarik untuk kalkulasi kemenangan di pesta demokrasi 2029 mendatang.

Artinya, dominasi banteng selama ini bisa kalah di sejumlah daerah. Tentunya ini menjadi kajian menarik terkait apa penyebabnya. Bisa jadi realita dibalik kebijakan bantuan sosial (bansos), bantuan langsung tunai (BLT), dan lain-lain yang digelontorkan mendekati hari H pencoblosan di sejumlah daerah, termasuk terjun langsungnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi stimulus terhadap realita untuk mendongkrak sentimen positif terhadap paslon tertentu.

Jika ini benar, maka penguasa memang mempunyai kekuasaan untuk memanfaatkan sumber daya, demi kemenangan dan pemenangan dalam pesta demokrasi. Dan fakta ini dilakukan siapapun di lingkaran kekuasaan.

Dari Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim (P3KE), bantuan pangan di 2024 disalurkan ke 22 juta penerima bantuan pangan (PBP). Masing-masing mendapatkan beras 10 kilogram (kg) per bulan. Kalkulasi 22 juta penerima bersama keluarga dan kerabat, maka ini sangat potensial dipolitisasi.

Artinya, di pesta demokrasi semua cara harus dilakukan demi mendulang kemenangan dan pemenangan. Oleh karena itu, incumbent dan paslon yang dekat dengan kekuasaan akan mencari berbagai cara untuk meraih kemenangan dan pemenangan, sehingga berkuasa pascapesta demokrasi. Meski demikian, sebaiknya tidak dilakukan dengan praktek culas yang mencederai aspek kepercayaan dan mereduksi legitimasi hasil pesta demokrasi. (*)

Sumber: https://radarsolo.jawapos.com/opini/844200970/belajar-bijak-dari-pilpres