You are currently viewing Tanggapi Kebijakan Penghapusan Skripsi, UMS Sudah Lebih Dulu Terapkan Kebijakan Lulus Tanpa Skripsi

Tanggapi Kebijakan Penghapusan Skripsi, UMS Sudah Lebih Dulu Terapkan Kebijakan Lulus Tanpa Skripsi

  • Post author:
  • Post category:Berita

ums.ac.id, PABELAN – Kemendikbud Ristek Republik Indonesia (RI) belum lama ini mengeluarkan Permendikbud Ristek No.53 Tahun 2023 yang berisi tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Peraturan tersebut disampaikan pada saat acara Merdeka Belajar Episode ke-26 “Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi”.

Menanggapi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No.53 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi itu, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof., Harun Djoko Prayitno M.Hum., mengungkapkan bahwa sesungguhnya UMS sudah sejak 2,5 tahun yang lalu sudah menjalankan kebijakan kurikulum Outcome Based Education (OBE).

“Turunan dari OBE itu, mahasiswa UMS tidak harus membuat skrpsi. Turunan Pengembangan Talenta Inovasi Mahasiswa UMS, paper, konferensi, prosiding, HAKI, paten dan teknologi tepat guna sebagai pengganti skripsi,” papar Wakil Rektor Bidang Akademik itu, Jumat, (8/9).

Inovasi lain, terkait dengan 8 standar yang kemudian di abstarksi hanya menjadi 3 standar, yaitu input, proses, output/outcome. Periode kepemimpinan sekarang ini, UMS sudah mengedapnkan output dan outcome itu. Dengan penekanan yang desain OBE, kompetensi holistik dan talenta inovasi otomatis bobotnya, porsinya, 65% sampai 70%.

“Upaya kami, dalam menaikkan kompetensi holistik ini supaya mahasiswa UMS memiliki untuk hidup, kehidupan dan penghidupan serta kompetensi holistik, yang ditutup dengan kompetensi berkehidupan bermasyarakat,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Sekertaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof., Abdul Mu’ti, M.Ed., mengungkapkan bahwa kebijakan itu sebenarnya tidak lagi baru.

“Menulis skripsi, tesis, mauapun desertasi yang tidak lagi menjadi kewajiban, sebetulnya tidak terlalu baru. Di banyak negeri seperti Malaysia, Turki, Australia dan negera lain sudah tidak menempatkan skripsi sebagai bagian dari tugas yang harus dilakukan mahasiswa sebagai prasyarat kelulusan,” papar Abdul Mu’ti sebelum mengisi Seminar Interdisiplinary pada Kamis, (31/8) lalu.

Menurutnya, perihal skripsi di banyak negara sudah tidak menjadi syarat mutlak. Sehingga mahasiswa tidak perlu menulis skirpsi, tetapi membuat kertas kerja atau produk ilmiah dalam bentuk lain yang bobotnya sama dengan skripsi. Begitu pula untuk tesis dan disertasi, mahasiswa diberikan opsi saja, ada jalur skripsi, jalur classwork mereka bisa memilih untuk lulus dengan jalur apa.

“Biasanya alasan yang keberatan dengan kebijakan itu, karena kurangnya kemampuan penelitian mahasiswa. Tetapi sesungguhnya argumen itu tidak cukup kuat, karena sebenarnya setiap dosen memberikan tugas makul tertentu yang berbasis mini riset menerapkan berbagai penelitian, sebagai bagian dari tugas yang terintegrasi dengan nilai mata kuliah.

Atau bisa juga, lanjut Dia, kampus Muhammadiyah biasanya menugaskan mahasiswa melakukan community service bagian penerapan teori ke masyarakat. Soal kretifitas dan kemampuan untuk mengembangkan strategi agar kualitas akademik terjaga, dan mahasiswa tdak terlambat karena pelulusan skripsi yang bermasalah.

“Seringkali ketika menulis tugas akhir, mahasiswa diobrak abrik, sehingga terjadi nuasa bukan akademik, malah menggambarkan birokratisasi dan sistem akademik yang kadang-kadang dalam tanda petik menempatkan dosen sebagai figur yang harus di ikuti mahasiswa. Hal ini berdampak cukup serius terhadap proses bimbingan, dan penulisan mahasiswa tingkat akhir,” tegasnya.

Sekertaris Umum PP Muhammadiyah itu juga menegaskan bahwa pendidikan itu tetap dijaga kualitasnya dan untuk memenuhi kualitas itu tidak harus berbelit, birokratis malah sering menjadi sebab mahasiswa gagal studinya.

“Terkait Capaian Profil Lulusan (CPL) dibuat saja masing-masing kampus yang mencakup aspek teori pendidikan, kemudian dikaitkan dengan relevansi. Harapannya mahasiswa dapat berperan dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikannya,” tambahnya.

Selain itu, dalam membentuk CPL itu dengan pendekatan standar lulusan yang seperti apa, dan setiap Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah itu mengacu standar Pendidikan Nasional Indonesia disesuaikan dengan akreditasnya. Seperti Universitas Muhammadiyah Surakarta yang sudah unggul, harus standar lebih tinggi dari standar nasional. Ditambah lagi berorientasi global, sehingga standar ini perlu mengacu Perguruan Tinggi mitra di luar negeri. (Fika/Humas)