Oleh Dr. Fahrudin, S.H., M.H., CfrA, Doktor Ilmu Hukum UMS
PENELITIAN berjudul “Formulasi Hukum Asset Recovery Pengembalian Kerugian Negara dari Aset Hasil Korupsi yang Dikuasai oleh Ahli Waris di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah”, dilatarbelakangi keresahan penulis. Karena selama ini, penyelesaian kasus tindak pidana korupsi lewat jalur pengadilan pidana, berakhir dengan vonis penjara. Sangat sedikit yang berorientasi pada pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery). Terlebih melalui jalur perdata.
Selain itu, penulis juga menjumpai fakta bahwa, asset recovery dari ahli waris pelaku tindak pidana korupsi yang meninggal dunia, belum banyak dilakukan. Dari keresahan ini, dapat dinyatakan riset mengenai formulasi hukum asset recovery pengembalian kerugian negara dari aset hasil korupsi yang dikuasai oleh ahli waris di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah penting dilakukan.
Penyelesaian ganti kerugian negar atau daerah terhadap pegawai negeri sipil (PNS) bukan bendahara, merupakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara). Setiap pejabat negara dan PNS bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian yang dimaksud.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi (TP-TGR), tidak terkodifikasi dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Dari sini dapat dinyatakan bahwa, UU Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016, telah mengatur kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian negara/daerah menjadi tanggung jawabnya dan bersedia menggantinya.
Namun kenyataannya, masih banyak PNS yang korupsi. Adanya gap antara yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan fakta di lapangan, maka penulis meneliti sejumlah permasalahan. Pertama, efektivitas pengembalian kerugian negara dari aset hasil kejahatan korupsi yang dikuasai ahli waris di Kabupaten Rembang.
Kedua, formulasi hukum asset recovery pengembalian kerugian negara dari aset hasil korupsi yang dikuasai oleh ahli waris di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
Hasil penelitian yang menjadi tema sebagai berikut. Pertama, efektivitas pengembalian kerugian negara dari aset hasil kejahatan korupsi yang dikuasai oleh ahli waris di Kabupaten Rembang tidak efektif. Ditunjukkan dari persentase pengembalian kerugian negara/daerah oleh ahli waris, rata-rata hanya 11,85 persen.
Kedua, formulasi hukum asset recovery dimaksudkan untuk memperbaiki faktor penghambat. Yaitu faktor hukum dan faktor penegak hukum. Formulasi ini berangkat dari kegagalan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 1999 (UU Tipikor), jo UU Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut UU Tipikor Perubahan), memroses pelaku tindak pidana korupsi dengan hukum acara KUHAP.
Begitu juga pengembalian keuangan negara melalui TP-TGR yang didasari UU Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK), UU No. 15 Tahun 2004, dan PP No. 38 Tahun 2016, tidak efektif untuk pengembalian kerugian keungan negara/daerah. Karena tindak pidana korupsi dari ahli waris yang pelakunya meninggal dunia.
Bukti empiris dari Kabupaten Rembang, hanya berhasil mengembalikan keuangan negara dari ahli waris, rata-rata sekira 11,85 persen. Hasil formulasi hukum ini berupa UU baru, yang merupakan gabungan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi. Baik dari KUHP, UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Tipikor, hukum administrasi, maupun dari peraturan pelaksananya dan pengaturan gugatan perdata kepada ahli waris pelaku korupsi yang meninggal dunia oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Gabungan peraturan perundang-undangan ini menjadi satu UU, dapat dilakukan dengan transplantasi hukum dari luar negeri atau internasional, ke dalam hukum di Indonesia yang mengatur tipikor. Pengaturan pengembalian kerugian negara dapat mengadopsi Procceeds of Crime Act (POCA) dan European Convention on Human Right (ECHR) yang berlaku di Britania Raya.
Selain itu, mengadopsi peraturan dari Thailand tentang pengembalian kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, yang telah disembunyikan melalui tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Pencucian Uang (AMLA).
Selanjutnya, untuk menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi, Indonesia perlu mengadopsi ketentuan-ketentuan dari Foreign Corruption Practices Act (FCPA) yang berlaku di Amerika Serikat. Serta Statuta Roma dan Konvensi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC).
Gabungan UU ini juga mengatur pemberian kekuasaan atau kewenangan kepada penegak hukum, dalam hukum administrasi yang menyelenggarakan sidang TP-TGR. Memaksakan pelaku atau ahli warisnya, untuk mengembalikan kerugian negara/daerah dengan seketika.
Gabungan UU anti korupsi yang baru itu, nantinya perlu memasukkan unsur-unsur Islami dan profetik keislaman. Mengingat sebagian besar masyarakat masih menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. (*)