You are currently viewing Bedah Buku: Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban

Bedah Buku: Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban

  • Post author:
  • Post category:Berita

Kembali, Universitas Muhammadiyah Surakarta mendapat kunjungan dari tokoh internasional Prof Hyung-Jun Kim. Prof Hyung-Jun Kim adalah Guru Besar Antropologi dari Kangwon National University Korea Selatan. Beliau telah menyeleseaikan studi dan mendapatkan gelar BA (Bachelor of Arts) Anthropology, Seoul National University, Korea dan Ph.D Anthropology, Australia National University, Australia. Seja tahun 2005 beliau juga menjadi Editing Committee, Korean Association of Southeast Asian Studies hingga sekarang. Singgahnya Kim di UMS ialah untuk memenuhi hajatan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) UMS.

Kurang lebih satu jam perjalan Kim dari Yogyakarta beserta rombongan. Sesampainya di Jalan Ahmad Yani kawasan Pabelan Surakarta, disambutlah rombongan dengan gedung megah karya sivitas UMS. Terpampang jelas nama besar berwarna putih yang bertuliskan ‘Universitas Muhammadiyah Surakarta’. Sedangkan bangunan megah berlantai tujuh tersebut bernama ‘Gedung Induk Siti Walidah UMS’ bersama logo UMS yang disematkan di sisi kiri. Memasuki area atrium dan lobi utama disambutlah dengan arsitektur yang apik dengan pemandangan yang menyejukan. Keramahan tersebut disuguhkan kepada semua yang hendak singgah. Lingkungan yang ramah ini tak sebatah bagi mereka yang memiliki fisik sempurna, keramahannyapun ditujukan kepada penyandang disabilitas dengan fasilitas khusus bagi mereka.

Pada kesempatan ini Prof Hyung-Jun Kim menjadi pembicara utama pada acara bedah buku Etika Muhammadiyah dan Spirit Peradaban. “Menurut saya, Muhammadiyah itu organisasi yang cukup besar. Saya sering bicara ke orang Muhammadiyah, kamu harus bangga dengan organisasimu.” kata Kim saat mengisi acara bedah buku hasil karya penggiat di PSB-PS UMS, Azaki Khoirudin dan Zakiyudin Baidhawi, pada Sabtu, 19/8 kemarin.

Pernyataan Kim sebagai seorang peneliti outsider di satu sisi menjadi penyemangat untuk para aktivis Muhammadiyah. Kim misalnya menemukan banyak hal positif di Muhammadiyah. Termasuk salah satunya dalam hal tradisi demokrasi. “Saya tidak pernah sebelumnya menemukan organisasi agama di dunia yang mengelola demokrasi dengan baik,” kata Kim.

Di sisi lain, Kim mengingatkan supaya Muhammadiyah tidak terlena dengan capaian yang ada. Menurutnya, banyak hal yang mesti diperbaharui dan dikiritisi guna meningkatkan kualitas diri. Dalam membangun otokritik, tentu harus dengan landasan yang kuat. Buku ini dianggap Kim bisa menjadi acuan untuk melihat Muhammadiyah dalam kiprahnya selama lebih dari seabad. “Mas Azaki dan mas Zakiyudin cukup berani menguraikan tentang theologi dasar dari Muhammadiyah,” ujarnya.

Azaki Khoirudin mengawali pengantarnya dengan menyatakan bahwa buku ini mencoba untuk memotret etika yang menjadikan Muhammadiyah terus menggeliat hingga usia lebih dari seabad. Buku yang diterbitkan Suara Muhammadiyah ini dibagi dalam dua bagian yang masing-masing bagian memiliki enam bab. Bagian pertama membahas tentang landasan pemikiran di Muhammadiyah. Sementara bagian kedua menguraikan tentang praksis peradaban dan aktivisme Muhammadiyah. Keseluruhan gerak Muhammadiyah ini dikenal dengan istilah trisula lama yakni schooling, feeding, healing dan juga trisula baru yang terdiri dari MDMC, Lazismu, dan MPM.

Melanjutkan paparan Azaki, Zakiyudin menyebut bahwa Muhammadiyah memiliki basis theologis islamic movement yang kokoh. Yaitu Qur’an Surat al-Maun dan surat al-Ashr. “Kiai Dahlan dikenal sebagai kiai al-Ashr,” kata direktur pascasarjana IAIN Salatiga ini. Menurutnya, keseriusan Kiai Dahlan dalam menanamkan makna dari dua surat ini bisa dilihat dari lamanya pengajaran dua surat ini. “Surat al-Ashr diajarkan selama 7 bulan. Sementara surat al-Ma’un selama 3 bulan berturut-turut,” ulasnya.

Kedua surat itu menjadi etos Muhammadiyah yang berkemajuan. Al-Maun, kata Zakiyudin, mendestruksi dan mengkritik kemapanan serta sistem peradaban sosial-ekonomi juga kehidupan personal. Sementara al-Ashr, menjadi inspirasi membangun dengan landasan amal sholeh dan kedisiplinan. Al-Ashr mengisi apa yang diruntuhkan dengan kritik sebelumnya. Inilah etos yang menggerakkan Muhammadiyah untuk mandiri, berdaya, sekaligus tanpa menghilangkan elan vitalnya untuk melakukan keberpihakan dan pemberdayaan terhadap kaum mustadl’afin.

Muhammadiyah, kata Zakiyudin, juga memiliki basis sosio-filosofis yang kuat. Dalam konteks berbeda, Muhammadiyah mempunyai paduan konsep ummah, civil society, dan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam konsep ummah dimaksudkan bahwa seluruh manusia merupakan satu. Sementara dalam konsep masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah mengajukan rumusan seperti keluarga sakinah hingga qaryah thayyibah. “Semua itu berbasis pada nilai iman dan amar makruf nahi munkar,” katanya.

Berbekal dari basis yang kokoh, maka tidak mengherankan jika Muhammadiyah bisa memainkan banyak peran keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. “Meskipun sebagai gerakan sosial keagamaan, tapi Muhammadiyah bisa memainkan peran di banyak posisi, mulai politik, ekonomi, hingga peran kultural,” urai Zakiyudin.

Dalam kesempatan itu, ketua PSB-PS UMS, Yayah Khisbiyah mengapresiasi buku karya dua aktivis Muhammadiyah yang berbeda generasi itu. “Buku ini bercerita tentang kebanggaan kita Muhammadiyah sebagai the new social movement, mengkaji relevansi Muhammadiyah setelah seabad berlalu,” katanya.

Menurut Yayah, kajian seperti ini nantinya akan mempertegas peran segenap kader dan aktivis Muhammadiyah dalam memajukan Muhammadiyah dengan semangat Islam berkemajuan. Spirit kerja keras dan kerja cerdas ini, bisa menjadi konstribusi penting Muhammadiyah dalam membangun umat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Lebih jauh, kata Yayah, kajian ini juga bisa menjadi otokritik untuk menggerakkan Muhammadiyah menjadi organisasi yang lebih baik. (Ahmad)