Sudah saatnya, bahkan terkesan terlambat, RUU KUHP disahkan sebagai UU sebagai hasil karya Bangsa Indonesia dalam melakukan pembaharuan hukum pidana Indonesia yang lebih sesuai dengan ideologi dan kultur/budaya bangsa Indonesia dan untuk menyesuakan dengan perkembangan jaman. KUHP (WvS) sebagai produk Pemerintah Kolonial Belanda yang sudah 107 tahun diberlakukan dengan beberapa kali perubahan, dan dilengkapi dengan lahirnya banyak UU Pidana khusus di luar KUHP, di samping KHUP secara ideologis kurang sesuai dengan ideologi Pancasila, tidak sesuai dengan nilai-nilai agama/religius dan budaya luhur bangsa Indonesia, juga belum dapat mengakomodasi kebutuhan hukum pidana seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan perkembangan global/masyarakat internasional. Para Begawan hukum pidana, Prof. Sudarto, Prof. Muladi, maupun Prof. Barda Nawawi Arief, bahwa karakteristik hukum pidana nasional (KUHP Nasional) harus memenuhi syarat: pertama, hukum pidana nasional mendatang yang dibentuk harus memenuhi pertimbangan sosiologis, politis, praktis, dan juga dalam kerangka ideologis Indonesia; ke-dua, hukum pidana nasional mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi Indonesia; ke-tiga, hukum pidana nasional mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab; ke-empat, karena sistem peradilan pidana, politik kriminal, dan politik penegakan hukum merupakan bagian dari politik sosial, maka hukum pidana nasional mendatang harus memperhatikan aspek-aspek yang bersifat preventif; kelima, hukum pidana nasional mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan efektifitas fungsinya di dalam masyarakat.
Beberapa bagian dari RUU KUHP yang diajukan pemerintak ke DPR ini banyak mendapatkan sorotan publik juga para pakar hukum pidana, karena isinya yang dianggap masih kontroversial dalam diskursus di masyarakat. Beberapa di antaranya akan disajikan dalam tulisan ini.
Living law
Ketentuan terkait dengan asas pemberlakuan “hukum yang hidup dalam masyarakat” (living law) sebagai dasar pemidanaan (Pasal 2 RUU KUHP), di samping asas legalitas (Pasal 1 RUU KUHP), dapat diterima dengan argumentasi bahwa di masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan budaya, sudah sejak dulu kala memiliki hukum (adat) yang berbeda dan sebagiannya masih hidup dan dihormati oleh masyarakat setempat di samping hukum nasional. Hukum dipahami bukan hanya hukum tertulis dalam per-UU-an saja, akan tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Ketentuan Pasal 2 RUU bukan merupakan hal baru yang tidak bisa diimplemtasikan, karena sejatinya sudah ada dalam perundang-undangan yang ada sebelumnya, di antaranya UU No. 1/drt/1951 yang memberikan wewenang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan jahat/tercela menurut hukum yang hidup yang tidak diatur dalam UU, juga dalam UU No. 14/1970 jo UU No. 4/2004 jo UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 5 (1)) yang mewajibkan kepada hakim dalam mengadili perkara untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan yang demikian diperlukan juga untuk menghindari prilaku eigent richting (main hakim sendiri) dalam masyarakat karena pelaku tidak bisa dihukum menurut peraturan per-UU-an (tertulis).
Yang perlu ditegaskan terkait hal ini adalah sanksi maksimal yang dapat dijatuhkan hakim terhadap perbuatan-perbuatan jahat/tercela yang melanggar hukum yang hidup, agar sanksinya tidak terlalu berat.
Sanksi pidana mati
Walaupun diskursus tentang pidana mati sangat karas, baik yang pro maupun yang kontra terhadap sanksi pidana mati, saya berpandangan bahwa sanksi pidana mati perlu tetap dipertahankan dengan syarat tertentu (bersyarat), khusus ditujukan bagi tindak pidana yang sangat berat/serius, seperti makar terhadap presiden dan wakil presiden, pembunuhan berencana, dan pengedar (besar) narkoba.
Perumusan Pasal 65 dan 67 RUU KUHP yang menjadikan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus, cukup mengakomodasi diskursus kontroversi pidana mati.
Dalam perspektif religious, seperti syariat Islam (jinayah) sebagai ajaran Tuhan yang bersifat abadi, hukuman mati juga dikenal/diperbolehkan, bahkan kepada lebih banyak kejahatan (Zina muhson (rajam), Qishas pembunuhan, dll). Jadi mempertahankan/menjatuhkan hukuman mati, bukan merampas hak Tuhan mencabut nyawa manusia, justru sebaliknya, melaksanakan firman/kehendak Tuhan sebagaimana diatur dalam Kitab Suci Al-Qur’an.
Pidana ganti kerugian
Tujuan hukum pidana di antaranya adalah mewujudkan keadilan, baik bagi pelaku, korban dan keluarganya, maupun masyarakat. Sanksi pidana perampasan kemerdekaan (mati, penjara) dan pembayaran denda yang dimasukkan ke kas negara, sebenarnya secara substantif belum memberikan rasa keadilan bagi korban tindak pidana, karena sanksi-sanksi tersebut tidak memberikan pemulihan (restorative) terhadap kerugian yang diderita korban. Oleh karena itu sanksi pidana pembayaran ganti kerugian oleh pelaku tindak pidana kepada korban (Pasal 94 RUU KUHP) sangat penting untuk dimasukkan menjadi sanksi pidana (pokok atau tambahan) yang dapat dijatuhkan hakim tanpa harus diajukan gugatan ganti kerugian (perdata) melalui mekanisme penggabungan gugatan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP. Sehingga keadilan substantif lebih bisa diwujudkan secara efisien.
Rasionalitas menjadikan sanksi pembayaran ganti kerugian (restitusi) sebagai sanksi pidana kecuali secara tersamar sudah dikenal dalam berbagai peraturan per-UU-an (UU Lalu Lintas, UU Korupsi, dll), juga secara filosofis, yuridis, sosiologis, politis, praktis, dan adaptif/global telah memenuhi syarat.
Penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden
Harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan wajib dijunjung tinggi, walaupun tidak berarti tidak mungkin melakukan kesalahan. Kebebasan menyampaikan pendapat di alam demokrasi ini, tidak berarti bebas tanpa batas, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab dengan tetap menghormati dan menghargai harkat dan martabat orang lain, termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Harus ada mekanisme hukum yang memungkinkan Presiden & Wakil Presiden diminta pertanggungjawabannya di muka hukum, tetapi sebaliknya harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden harus dilindungi dengan undang-undang pidana.
Perumusan tindak pidana Penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden sebagai delik aduan yang hanya dapat diajukan secara tertulis oleh Presiden/wakil presiden merupakan jalan tengah antara dua kepentingan dimaksud (Pasal 218-220 RUU KUHP)
Tindak pidana memiliki kekuatan gaib
Praktik perdukunan/santet/memiliki kekuatan gaib pernah cukup meresahkan masyarakat. Masyarakat akhirnya terpancing untuk main hakim sendiri, karena hal itu belum terwadahi oleh UU yang berlaku. Karena praktik perdukunan/santet sulit pembuktiannya apabila dijadikan delik materiil (akibat), maka perumusan perdukunan/santet/memiliki kekuatan gaib ini sebagai tindak pidana hanya bisa dirumuskan secara formil. Hal ini bisa dipahami dan diterima.
Perzinahan (Pasal 514-516 RUU KUHP)
Perzinahan dikriminalisasi secara lebih luas dibandingkan KUHP, karena meliputi semua hubungan seksual yang dilakukan diluar perkawinan (Di KUHP hanya untuk orang salah satu atau dua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain). Hanya saja masih dijadikan delik aduan yang sangat terbatas orang yang bisa mengadukan (suami/istri bagi yang terikat perkawinan, atau orang tua atau anak bagi yang terikat dalam perkawinan).
Akan betul-betul menjadi kebijakan yang serius untuk menanggulangi perzinahan yang kian marak di masyarakat yang secara religious dilarang oleh setiap ajaran agama, termasuk Islam, apabila tindak pidana perzinahan ini dijadikan delik biasa (non aduan), walaupun di sisi lain akan memerlukan sumber daya (SDM dan biaya) yang sangat besar. Jadi kebijakan hukum ini masih terkesan setengah-setengah, tidak tuntas menanggulangi praktik perzinahan.
Gangguan dan penyesatan terhadap Proses Peradilan (Pasal 280 RUU)
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang
pada saat sidang pengadilan berlangsung: a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim atau menyerang integritas hakim dalam siding pengadilan; atau tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.
Isi Pasal 280 huruf a dan b bisa diterima, akan tetapi poin c seharusnya dihapus, atau setidaknya yang dilarang adalah untuk kasus tertentu (kesusilaan atau anak), karena proses peradilan pidana adalah bersifat terbuka untuk umum, kecuali perkara tertentu (kesusilaan dan anak) yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat mengawasi jalannya proses peradilan agar proses peradilan berjalan secara fair dan juga mewujudkan general prevention bagi masyarakat.
Di samping beberapa hal di atas, ketentuan-ketentuan lain dalam RUU KUHP masih perlu dikaji secara mendalam agar bisa dirumuskan secara baik dan sesuai dengan cita hukum masyarakat Indonesia. KUHP Nasional yang akan datang diharapkan menjadi prestasi penting pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Dr. Muchamad Iksan, S.H., M.H. (Dosen FH-UMS / Sekretaris MH-HAM PWM Jateng)